LEAD.co.id | Aksi protes anti Kudeta Myanmar berubah menjadi demonstrasi berdarah. Kantor hak asasi manusia (HAM) PBB mencatat, setidaknya 18 orang demonstran tewas akibat ditembak Polisi Myanmar, pada Minggu (28/2/2021).
Kantor berita Reuters menyebut, Polisi keluar lebih awal dan melepaskan tembakan di kota Yangon setelah tembakan granat kejut, gas air mata dan tembakan di udara gagal memecah kerumunan. Tentara juga ikut memperkuat posisi polisi.
Beberapa orang yang terluka diangkut oleh sesama pengunjuk rasa, meninggalkan noda darah di trotoar. Seorang pria meninggal setelah dibawa ke rumah sakit dengan peluru di dadanya.
Polisi dan pasukan militer telah menghadapi demonstrasi damai, menggunakan kekuatan yang mematikan. Menurut informasi yang diterima oleh Kantor HAM PBB, penembakan itu menyebabkan sedikitnya 18 orang tewas dan lebih dari 30 luka-luka.
Tindakan keras tersebut dinilai sebagai tekad militer untuk memaksakan otoritasnya dalam menghadapi pembangkangan sipil di jalan, bahkan lebih luas lagi di layanan sipil, pemerintahan kota, peradilan, sektor pendidikan dan kesehatan, dan media.
“Peningkatan jelas pasukan keamanan Myanmar dalam penggunaan kekuatan mematikan di banyak kota … sangat keterlaluan dan tidak dapat diterima,” sebit Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch (HRW) untuk Asia melalui keterangan pers.
Kedutaan Besar Kanada mengakylu “terkejut dengan tren peningkatan kekerasan dan penggunaan kekerasan terhadap pengunjuk rasa”. Pihaknya juga prihatin dengan sikap Indonesia yang memimpin ASEAN dalam upaya menyelesaikan kekacauan tersebut.
Reuters mengutip Televisi MRTV yang dikelola pemerintah mengatakan, lebih dari 470 orang telah ditangkap pada hari Sabtu ketika polisi melancarkan tindakan keras nasional.
Aktivis pemuda Esther Ze Naw mengatakan orang-orang berjuang melawan ketakutan yang mereka alami di bawah pemerintahan militer.
“Jelas sekali mereka mencoba menanamkan rasa takut pada kami dengan membuat kami lari dan bersembunyi,” katanya. “Kami tidak bisa menerima itu.”
Televisi pemerintah telah mengumumkan bahwa, utusan PBB Myanmar dipecat karena mengkhianati negara itu, setelah ia mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menggunakan “segala cara yang diperlukan” untuk membalikkan kudeta.
Duta Besar, Kyaw Moe Tun, tetap menentang. “Saya memutuskan untuk melawan selama saya bisa,” katanya kepada Reuters di New York.
Sementara negara-negara Barat mengutuk kudeta dan beberapa telah memberlakukan sanksi terbatas, para jenderal mengabaikan tekanan diplomatik dan berjanji akan menggelar pemilu baru.
Reporter: M. Ikhsan
Editor: Aru Prayogi
Sumber: Reuters