Pemilih Sebagai Subjek Politik Demokratis

oleh -277 views
Artikel, Demokrasi
Komisioner KPU Kota Bogor, Dr. Bambang Wahyu

Oleh: Dr. Bambang Wahyu

Salah satu prinsip pemilu adalah hak pilih universal. Semua orang memiliki hak memilih jika telah memenuhi syarat sesuai regulasi. Hak pilih universal ini memperlakukan semua sama dan bertujuan mengakomodir hak politik warga negara, yang kemudian diterjemahkan dalam kalimat “one man, one vote”, terkadang ditambahkan “one value”. Dari kalimat ini terkandung makna suci setiap orang dapat berpartisipasi menentukan bentuk dan sistem pemerintahan atau mengubah konstelasi politik.

Tapi prinsip ini merupakan upaya menyeragamkan identitas dan tindakan politik. Jean-Luc Nancy dalam The Creation of the World or Globalization (2007: 54) menyebutnya sebagai “kesepadanan umum” (general equivalence) yang mentransmutasi manusia, realitas, dan peristiwa ke dalam bentuk yang sama. Nancy mengaitkannya dengan karakter kapitalisme global yang menyusun sameness dan unitotalitas pada realitas sosial politik (Nancy, 2007: 28). Penyeragaman ini menggeser keragaman identitas manusia. Bahayanya akan muncul ekslusivitas penyelenggara negara, partai politik, atau kelompok sosial yang memaksa penyeragaman orientasi kolektif.

Dalam demokrasi, kalimat kesepadanan “one man, one vote” itu tidak terberi (given) tapi melalui proses advokasi dan asistensi yang rumit terutama bagi kelompok sosial yang tidak merasakan manfaat pemilu dan menjadi objek kebijakan politik, seperti kelompok masyarakat marjinal, masyarakat adat, kelompok disabilitas, warga binaan, dan pasien rumah sakit jiwa. Jika setiap orang disamaratakan, sementara titik berangkatnya berbeda tentu akan melahirkan keputusan yang berlainan. Jangankan di negara berkembang, di negara maju pun dilema kesepadanan ini selalu menghantui proses pemilu.

Atas dasar itu, hak pilih universal tidak melihat keunikan posisi atau diferensiasi sosial manusia. Identitas manusia direduksi dan dikonversi ke dalam suara (vote). Sejatinya kalimat “one value” memberi sinyalemen pada perbedaan faktisitas sosial itu sehingga pemilih pun harus diperlakukan sesuai dengan kapasitas dan kompetensi sosialnya.

Baca :  Preferensi Publik dalam Pilkada di Era Pandemi Covid-19

Dalam sosiologi politik, beragam faktor harus dilibatkan untuk mengidentifikasi relasi mendaulatkan manusia sebagai pemilih dengan kesenjangan sosial, persepsi pemilih, orientasi politik, bahkan segregasi ekonomi. Pelibatan ini selain untuk mengakomodir hak pilih dan menentukan strategi pendidikan pemilih juga sebagai upaya meningkatkan kualitas demokrasi.

Otonomi Pemilih

Penerimaan dunia atas demokrasi karena bersifat universal dan menjadikan manusia sebagai tujuan bukan sarana politik. Walaupun bukan sistem ideologi yang sempurna tapi menjanjikan cara untuk melibatkan warga negara dalam pembentukan kekuasaan. Hak pilih universal menghadapi masalah otonomi pemilih, yaitu sejauhmana pemilih dapat melangsungkan hak pilihnya sebagai individu yang berdaulat dan sebagai perwujudan hak politiknya. Ini mengakibatkan tarik menarik antara kedaulatan pemilih dengan hak asasi manusia (HAM). Hak asasi manusia adalah ranah otonomi moral yang bersifat privat. Sedangkan kedaulatan merupakan otonomi politik dalam ranah publik.

Bagi liberalisme demokrasi, postulat HAM ditempatkan di atas postulat kedaulatan rakyat untuk menghalangi munculnya totalitarianisme. Di samping itu, hak dasar yang melekat pada manusia mendahului otoritas pemegang kedaulatan. Atas dasar itu, individu berhak menentukan hak dasarnya termasuk hak politik (individual self-determination). Tapi bagi komunitarianisme demokrasi, partisipasi politik merupakan manifestasi etis komunitas. Individual self-determination dilakukan dengan menyerahkan hak-hak dasarnya pada wakil komunitas sebagai pemegang mandat collective sef-determination. Sejumlah hak dasar yang melekat pada individu pada ranah privat ditransformasi menjadi kesejahteraan umum.

Hak asasi manusia menjadi parameter otonomi moral individu. Setiap manusia berhak mendapatkan saluran hak politiknya par excellence. Bagi liberalisme demokrasi, otonomi moral ini menjadi kerangka acu dalam menyusun otonomi politik. Kontrak sosial sebagai relasi antara pemegang mandat dan individu menerapkan prinsip-prinsip moral. Tapi belum ada kesepakatan mana yang lebih penting antara otonomi moral dan otonomi politik atau apakah ranah publik menghasilkan otonomi yang privat.

Baca :  Bio-Politik Dan Kepanikan

Peliknya permasalahan otonomi pemilih ini yang berusaha ditafsirkan dalam penyelenggaraan pemilu terutama dalam mengakomodir hak pilih warga negara. Misalnya apakah hak pilih kelompok disabilitas masuk kategori otonomi moral (HAM) atau otonomi politik (daulat pemilih)?

Politik Pemilih

Jika ada politik warga negara tentu ada artikulasi politik pemilih, yaitu sebuah upaya mengorganisir identitas pemilih sebagai subjek demokrasi. Pemilu sebagai ruang kontestasi dimensi politik menjadi media penguatan identitas itu. Politik pemilih berangkat dari perspektif posisi dan kapasitas sosial untuk mengartikulasi masyarakat politik. Pada pemilih rasional yang menemukan deviasi kekuasaan, kemandegan, atau situasi politik yang tidak berpihak maka mereka akan mengorganisir ruang sosial untuk mengubahnya.

Tapi mayoritas pemilih belum memahami urgensi identitas politik itu. Partisi rasional belum dimanfaatkan maksimal untuk menaikkan posisi tawar berhadapan dengan peserta pemilu dan kebijakan politik hasil pemilu. Banyak faktor yang menjadi variabel pendukung yang menghasilkan kesimpulan umum bahwa pemilih masih sebagai objek demokrasi atau sebagai yang liyan dalam proses demokratisasi.

Bahasa politik masih menempatkan pemilih sebagai wacana demokrasi, sebagai “tuturan” (subject of enunciated) bukan “penutur” (subject of enunciation). Sebagai tuturan, pemilih mengidentifikasi dirinya melalui simbol politik sebagai tanda eksternal di luar dirinya. Berbeda dengan itu, sebagai penutur, pemilih melakukan evaluasi dan afirmasi memperkuat kepentingannya dalam pemilu.

John Rawls dalam Theory of Justice (1971) mendekontruksi identitas politik ini melalui gagasan “keadilan prosedural” untuk menjawab pertanyaan bagaimana kehidupan sosial politik dijalankan, bagaimana kebijakan sosial politik mempengaruhi kehidupan, serta bagaimana memelihara kebersamaan. Justice as fairness dibentuk oleh perbedaan untuk melindungi rasa keadilan karena struktur sosial menempatkan semua orang tidak sama.

Karena ketidaksamaan ini maka manusia harus dikembalikan pada “posisi asali”-nya (the original position), kata Rawls. Segmentasi kelas sosial, segregasi ekonomi, dan peran sosialnya dilucuti dan dimasukkan ke dalam “tanda kurung” (bracketing). Masyarakat melihat dirinya tanpa atribut simbolis yang dikonstruk oleh realitas sosial politik. Munculnya pemahaman baru ini memudahkan langkah untuk menghormati keberadaan yang liyan dan mengatur cara untuk membantunya.

Baca :  Cegah Politik Uang Pada Pilkada 2020

Fairness dalam konteks politik pemilih dilakukan melalui dua prinsip yaitu kebebasan dan kesetaraan. Pada prinsip kebebasan, semua orang berhak atas kebebasan yang melekat pada dirinya. Pilihan politiknya adalah manifestasi kebebasan yang tidak dapat diganggu atau dihalangi. Prinsip kesetaraan menyangkut cara untuk memberi kesempatan yang lebih luas dan setara tentang apa yang mereka butuhkan dalam menggunakan hak pilihnya.

Antara Equality dan Equity

Justice as fairnes Rawls hampir sama dengan konsep gender mainstreaming gerakan feminisme, terutama berkenaan dengan konsep pemberdayaan equality dan equity. Dalam equality, semua orang diperlakukan sama. Adapun equity dilakukan dengan memberi atau menyediakan apa yang dibutuhkan oleh semua orang untuk menjadi setara.

Perbedaannya sangat jelas. Jika equality diterapkan pada pemilih dengan berangkat dari titik yang sama, tidak semua pemilih dapat mengakses program dan informasi pemilu. Misalnya kelompok disabilitas, masyarakat marjinal, dan lain-lain. Mereka akan selalu menjadi objek politik karena ada keterbatasan yang menghalangi kebebasan politiknya.

Otonomi politik dan fairness dalam model equality tidak terjadi karena setiap orang diperlakukan sama dan memperoleh asistensi yang sama pula. Posisi mereka akan selalu menjadi sarana untuk menambah akumulasi suara. Maka harus ada affirmative action untuk memperkuat model equity dengan mengadvokasi kebutuhan mereka untuk menjadi subjek politik.

 

Daftar Pustaka

Jean-Luc Nancy. The Creation of the World or Globalization (translated by Francois Raffoul and David Pettigrew). Albany: SUNY Press. 2007

John Rawls. Theory of Justice. Cambridge&Massachusetts: The Belknap Press&Harvard UP. 1971

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *